Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Tersangka Pada Tahap Penyidikan


Pada uraian sebelumnya telah diuraikan mengenai bagaimana pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP. Secara garis besar hak-hak tersebut tergambar dalam prinsif azas praduga tak bersalah. Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:

  1. Pasal 50 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
  2. Pasal 50 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
  3. Pasal 51 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”.
  4. Pasal 51 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.
  5. Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
  6. Pasal 53 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
  7. Pasal 54 KUHAP menegaskan bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
  8. Pasal 55 KUHAP menegaskan bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
  9. Pasal 56 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”.
  10. Pasal 58 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
  11. Pasal 59 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya”.
  12. Pasal 60 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka/terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun usaha mendapatkan bantuan hukum”.
  13. Pasal 61 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan”.
  14. Pasal 62 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
  15. Pasal 62 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Surat menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan”.
  16. Pasal 64 KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.
  17. Pasal 65 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
  18. Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban pembuktian”.
  19. Pasal 68 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.

Untuk membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap hak-hak tersangka secara spesifik, maka perlu juga diuraikan mengenai pelanggaran-pelanggaran yang esensial terhadap hak asasi tersangka yang akan diuraikan dalam bab ini dengan menggunakan metode yuridis normatif. Yaitu dengan cara membandingkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP serta ketentuan lain yang mengatur tetang itu.

Apabila diamati dari bentuknya, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi tersangka dapat diketegorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

  1. Pelanggaran administratif dan prosedural penyelidikan dan penyidikan.
  2. Pelanggaran terhadap diri pribadi (jiwa, raga)

Sekalipun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut dapat ditinjau dalam berbagai bentuk sebagaimana disebutkan di atas, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu perkara terjadi beberapa bentuk pelanggaran, baik pelanggaran administratif, prosedural, maupun pelanggaan terhadap diri pribadi tersangka.

1. Pelanggaran Administratif dan Prosedural

Pelanggaran administratif dan prosedural dalam tingkat penyelidikan dapat terjadi dalam bentuk yang ringan sampai dengan kasus yang tergolong pelanggaran prosedural yang berat. Beberapa jenis kasus yang tergolong ringan, dimana hak-hak asasi tersangka diabaikan secara sengaja yang disebabkan oleh tingkah laku (law behaviour) penyidik, ataupun karena “kerancuan” ketentuan norma dalam KUHAP maupun ketentuan pelaksanaannya, antara lain sebagai berikut:

a. Penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum (Miranda Warning).

Substansi bantuan hukum di Indonesia menjadi pertanyaan yang peling mendsasar, yaitu apakah bantuan hukum itu bersifat wajib ataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Bantuan hukum adalah instrument penting dalam sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya terhadap hak kebebasan dan hak atas jiwa-raga.[1]

Sesungguhnya pendampingan Penasehat hukum (Miranda Rule) ini merupakan pelaksanaan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang biasanya disebut dengan asas legalitas. Ketentuan ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai wujud perlindungan hukum atas hak hak kebebsan dan hak atas jiwa-raga seorang tersangka. Dengan demikian maka layak apabila bantuan hukum dipandang sebagai wujud nyata dari asas legalitas tersebut.

Fungsi bantuan hukum selanjutnya dalam perkembangan hukum di Indonesia, merupakan bagian dari sub-sistem penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Advokat atau penasehat Hukum. Hal ini dapat ditelusuri dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan;

“… Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip  negara  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat dan  bernegara,  peran  dan  fungsi  Advokat  sebagai  profesi  yang  bebas, mandiri  dan  bertanggung jawab merupakan  hal  yang  penting,  di  samping  lembaga  peradilan  dan  instansi  penegak  hukum seperti  kepolisian  dan  kejaksaan. Melalui  jasa  hukum  yang  diberikan,  Advokat menjalankan  tugas profesinya  demi  tegaknya  keadilan  berdasarkan  hukum  untuk  kepentingan  masyarakat  pencari keadilan,  termasuk  usaha  memberdayakan  masyarakat  dalam  menyadari  hak-hak  fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia …”.

Apabila Pasal 54 KUHAP dikaji dan ditelusuri maknanya lebih jauh, menjadi jelas bahwa pada prinsipnya hak atas bantuan hukum itu diakui, tetapi tidak termasuk ke dalam hak yang bersifat “wajib”. Ada kondisi atau persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum hak atas bantuan hukum tersebut menjadi “wajib” atau keharusan. Syarat khusus tersebut menyangkut; (i) kemampuan finasial; serta, (ii) ancaman hukum bagi tindak pidana yang disangkakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Apabila ketentuan wajib tersebut diabaikan, maka sesungguhnya akan berakibat pada tidak dapat diterima atau tidak sahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 dalam pertimbangannya menyebutkan : “Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasehat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyataklan tidak dapat diterima.”

Selanjutnya mengenai “syarat-syarat” itu sendiri, pada akhirnya menimbulakn ketidak pastian hukum tentang apakah dasar bagi penyidik untuk menilai Pasal 56 KUHAP yang menimbulkan kewajiban untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka yang tidak mampu (memiliki) penasehat hukum sendiri. Keadaan ini pada kenyataannya membawa tersangka untuk berhadapan dengan penyidik yang memiliki hak diskresi sangat besar dan cenderung “tidak terkendali”. Yang dimaksud dengan tidak terkendali tersebut seperti kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.

b. Penerapan Batas Maksimal Jangka Waktu Penahanan pada tahap Penyidikan.

Pasal 50 ayat (1) KUHAP menyebutkan; “Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh Penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada Penuntut Umum”. Penerapan batas maksimal 60 hari jangka waktu penahanan pada tahap Penyidikan yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (2), merupakan pelanggaran terhadap hak tersangka berikutnya.

Dengan alasan untuk kepentingan Penyidikan dan alasan klasik lain yang sesungguhnya dapat diantisipasi, seperti dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti dan menghambat proses penyidikan, penyidik menerapkan jangka waktu penahanan maksimal terhadap tersangka, sedangkan kenyataannya tersangka hanya diperiksa dalam rangka pembuatan BAP hanya beberapa kali saja dan tidak selama waktu penahanan tersebut.

Keadaan seperti ini merupakan pembiaran tersangka dalam keadaan yang tidak pasti sehingga sulit untuk membedakan antara seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana yang sederhana, dengan tindak pidana yang rumit dan berat. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran tershadap HAM.

Perampasan kemerdekaan terhadap tersangka sebagaimana juga diatur dalam Pasal 9 ayat (3) International Convenant on Civil and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin. Maka dengan adanya penerapan jangka waktu maksimal penahanan yang tidak efisien ini  telah melanggar hak kebebasan seorang tersangka. Kiranya ketentuan Pasal 24 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (2) KUHAP serta praktek pelaksanaannya harus dapat ditinjau ulang dan diganti dengan ketentuan baru yang dapat lebih melindungi hak atas kebebasan seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

c. Tidak Berfungsinya Lembaga Jaminan Penangguhan Penahanan

Lembaga jaminan penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu;

“Atas  permintaan  tersangka  atau  terdakwa,  penyidik  atau  penuntut  umum  atau hakim,  sesuai  dengan  kewenangan  masing-masing,  dapat  mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.”

Dalam pelaksanaannya, Pasal tersebut tidak mendapatkan pengaturan lebih lanjut tentang bagaimana cara pelaksanaan jaminan tersebut. Sehingga pelaksanaanya sering di-diskriminasikan atau dengan kata lain, lembaga penangguhan penahanan sering hanya diberikan kepada mereka yang memiliki “kekuatan” (baik kekuasaan maupun materi).

Yang menjadi acuan tentang pelaksanaan ketentuan lembaga penangguhan penahanan ini adalah Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini, bahwa tidak adanya uang jaminan sebagai syarat penangguhan penahanan bersifat fakultatif. Artinya, penangguhan penahanan dapat dilakukan tanpa jaminan uang atau jaminan orang. Apabila penangguhan diberikan, maka seluruh syarat-syarat yang diwajibkan dalam penangguhan tersebut hsrus dipenuhi, termasuk pembayaran uang jaminan. Pengguhan penahanan tersebut harus selalu disertai dengan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut menjadi condition sine qua non diberikannya penangguhan penahanan, yaitu :

(i)            Wajib lapor;

(ii)          Tidak keluar rumah; dan,

(iii)        Tidak keluar kota.[2]

Kondisi ini masih menimbulkan kerancuan. Di satu sisi, persyaratan di atas merupakan dasar diberikannya penangguhan penahanan dan tidak mencantumkan adanya kewajiban pembayaran jaminan. Tetapi di dalam KUHAP menyebutkan adanya keharusan untuk memberikan jaminan, meskipun keharusan itu bersifat fakultatif. Ketidaktegasan KUHAP ini menyebabkan pembayaran uang jaminan penangguhan penahanan tidak dilangsungkan secara seragam bagi semua tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Terkait dengan masalah pelanggaran Pasal 50 KUHAP, yaitu dengan penerapan batas maksimal 60 hari jangka waktu penahanan pada tahap Penyidikan sebagaimana telah diuraikan di atas. Semestinya lembaga jaminan penangguhan penahanan ini menjadi solusi atau jalan keluar untuk menghindari terjadinya pelanggran terhadap Pasal 50 KUHAP tersebut. Dengan adanya penangguhan penahan ini, maka seorang tersangka tidak perlu ditahan dalam jangka waktu maksimal, sedangkan ia hanya menjalani proses pemeriksaan beberapa hari saja.

2. Pelanggaran Terhadap Keamanan dan Kebebasan Jiwa-Raga

Pada uraian-uaraian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa salah satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP adalah bahwa KUHAP menempatkan seorang manusia (tersangka) dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak asasi seorang tersangka atau terdakwa tidak boleh diabaikan atau dilanggar.

Sedangkan mekanisme yang disediakan KUHAP bagi aparat penegak hukum, dalam rangka untuk mencapai tujuannya menempatkan seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being), justru sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang jusru menghilangkan pencapaian tujuan hukum itu. Ini terlihat dari mekanisme pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan upaya paksa (dwang middelen) dalam menyelesaikan suatu perkara pidana.

Peluang untuk terjadinya penggunaan wewenang yang berlebihan itu misalnya terlihat pada rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 yang menyatakan penyidik dapat “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sekalipun rumusannya kabur dan tidak jelas, rumusan pasal ini memberi keleluasaan kepada Penyidik untuk bertindak semaunya, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan keharusan dan masih selaras dengan wewenang sebagaimana diatur dalam rumusan-rumusan sebelumnya.[3]

Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap keamanan jiwa-raga seorang tersangka, yang disebabkan oleh ketidak-pastian ketentuan norma dalam KUHAP, serta akibat dari law behaviour penegak hukum dalam menggunakan wewenang upaya paksa (dwang middelen) yang berlebihan, antara lain sebagai berikut:

a. Penangkapan

a.1.  Pertentangan Rumusan Istilah Penangkapan dalam KUHAP

Istilah “Penangkapan” dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP berarti “suatu  tindakan  penyidik  berupa  pengekangan  sementara waktu  kebebasan  tersangka  atau  terdakwa  apabila  terdapat  cukup  bukti  guna kepentingan  penyidikan  atau  penuntutan  dan  atau  peradilan  dalam  hal  serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP”.

Pengertian tersebut mendapat koreksi dari Andi Hamzah yang mengatakan:

“Kalau definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang Penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 mengatakan sebagai berikut: “(1) untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan”. Tidak cocok karena bukan saja penyidik (menurut definisi) tetapi juga penyelidik…dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidik tetapi juga untuk kepentingan penyelidik.”[4]

Sejalan dengan pendapat di atas, kalau diperhatikan rumusan Pasal 16 ini mengkhendaki bahwa penangkapan “murni” merupakan kewenangan penyidik untuk kepentingan penyidikan. Tetapi menjadi tidak pasti ketika penyelidik-pun mendapatkan kewenangan untuk melakukan penangkapan demi kepentingan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu tindakan  untuk  mencari  dan menemukan  suatu  peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Jelas pada tahapan ini status seseorang yang terkait dengan peristiwa pidana belum menjadi “tersangka”. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP yang boleh ditangkap adalah “tersangka”.

Bila memperhatikan Pasal 17 KUHAP mengenai alasan penangkapan yaitu; (i) seorang tersangka di duga keras melakukan tindak pidana; (ii) dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Maka Penangkapan dalam tahap penyelidikan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan asas presumption of innocente (paraduga tidak bersalah). Sebab penangkapan ini merupakan “pengekangan kebebasan” manusia yang salah dengan dasar hukum yang keliru.

a.2.  Rumusan Syarat Penagkapan yang Tidak Pasti

Di atas telah diuraikan mengenai pertentangan istilah penangkapan yang berujung pada pelanggaran HAM. Selain itu, ditinjau dari Pasal 17 KUHAP, maka penangkapan didasarkan pada “bukti permulaan yang cukup”. Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” menurut penjelasan Pasal 17 ialah “bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14”.

Rumusan-rumusan ini seakan-akan menyerahkan kepada penegak hukum untuk “menduga-duga” bukti “permulaan” adanya suatu tindak pidana. Tidak ada ukuran pasti terhadap apa yang dimaksud dengan bukti permulaan itu. Penerapan ketentuan ini mengandung ketidakpastian hukum baik bagi penegak hukum itu sendiri terlebih kepada seorang tersangka. Sebab dengan adanya ketentuan seperti ini, membuka peluang bagi penyidik untuk menangkap seorang tersangka, yang sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi tersangka. Meskipun “bukti” yang dimaksud belum cukup, tetapi karena penyidik memiliki kewenangan yang luas untuk menafsirkan ketentuan tersebut, maka penyidik dapat melakukan penangkapan.[5]

a.3.  Penangkapan dengan Praktek Kekerasan

Selain perumusan definisi istilah dan syarat penangkapan yang mengadung ketidakpastian sehingga berujung pada pelanggran hak asasi tersangka. Praktek panangkapan pun menjadi “ujung tombak” pelanggaran hak asasi tersangka.

Perilaku para penegak hukum (Polisi) seringkali mengabaikan ketentuan norma-norma yang ada. Kasus Matinya Leonardus Lasaruddin[6] yang terbukti penyebab kematiaanya akibat dianiaya oleh anggota polisi yang menangkapnya. Kasus ini menunjukan bahwa dalam proses penyidikan khususnya penangkapan, terjadi penyalahgunaan wewenang sehingga hak asasi tersangka yaitu hak untuk hidup diabaikan.

Kasus Leonardus ini hanya satu diantara kasus-kasus adanya praktek kekerasan dalam penangkapan. Berdasarkan data survey tentang praktek kekerasan dalam penangkapan yang dirilis situs lawinsight.blogspot.com, pada bulan Agustus 2009 menunjukan 87% penangkapan yang lakukan oleh polisi menggunakan praktek kekerasan.[7]

b. Penahanan

Sama halnya dengan penangkapan, penahanan juga merupakan pelanggran terhadap hak asasi tersangka, yaitu hak atas kebebasan diri. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa penahanan yang tidak mempertimbangkan efisiensi waktu penahanan, berujung pada pelanggaran hak asasi tersangka yang bersifat administratif.

Pasal 1 butir  21 memberikan definisi penahanan yaitu “penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik,  atau  penuntut  umum  atau  hakim  dengan  penetapannya,  dalam  hal serta menurut cara yang diatur menurut KUHAP”.

Menurut M. Yahya harahap, penahanan bertentangan dengan hak asasi manusia karena berarti menghukum seseorang sebelum kesalahannya dibuktikan dengan putusan pengadilan. Penahanan selalu mengandung kontroversi karena bertentangan dengan HAM dan menganggap seseorang berbahaya bagi masyarakat. Anggapan berbahaya bagi masyarakat ini sulit dibuktikan, karena dalam kenyataannya sulit memperkirakan siapa yang berbahaya bagi masyarakat itu. [8]

Dari uraian di atas, terlihat bahwa ketentuan hukum dalam KUHAP yang memungkinkan terjadinya pelaggaran hak asasi tersangka merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mendasar dalam hukum acara pidana. Dari sini pula tercermin bagaimana gambaran umum mengenai perlindungan hak asasi tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya pada tahap penyidikan. Maka uraian selanjutnya akan berusaha untuk mendalami tentang bagaimana mekanisme KUHAP serta harapan dalam pembaharuannya dalam melindungi hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada tahap penyidikan.

 


*) Penulis: CSA Teddy Lesmana, SH.
[1] O.C. Kaligis, S.H., M.H. Op., Cit. Hlm. 237.
[2] M. Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm. 215-216.
[3] Ibid. Hlm 106.
[4] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Hlm. 128-129.
[5] M. Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm. 158.
[6] Diunduh dari http//www.lawinsight.blogspot.com/kasus-kasus-enarik/.
[7] Ibid.
[8] M. Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm.163.

1 thoughts on “Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Tersangka Pada Tahap Penyidikan

  1. Pada saat ini adek saya sedang ditahan dan sekarang sudah mendapatkan p21 untuk melaksanakan sidang, dimana pelapor telah melaporkan sebauh kejadian yang tidak benar atau merekayasa sebuah kejadian, dimana pihak elapor telah memalsukan sebuah kwitansi palsu tentang pelunasan 1unit mobil padahal jelas sebenarnya mobil ini belum lunas dibayar oleh pelapor, saya berharap kepada bpk/ibu dapat membantu kami mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang harus kami lakukan?, sekaian dan terimakasih

Tinggalkan komentar